Direktur Institut USBA Charles Imbir. (FOTO//IST)
KAMUNDANFM.COM, JAKARTA – Institut USBA menyambut positif dan mengapresiasi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 83 PK/TUN/TF/2025.
Putusan tersebut telah memperkuat pembatalan izin tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Institut USBA menilai, putusan ini bukan hanya kemenangan bagi warga Wawonii tetapi juga sebuah preseden hukum bersejarah yang menegaskan prinsip perlindungan ekologis bagi pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No 1 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Kemenangan hukum di Wawonii harus menjadi pijakan bagi bangsa Indonesia untuk mengoreksi model pembangunan di pulau-pulau kecil yang rentan,” kata Direktur Institut USBA Charles Imbir dalam siaran persnya, Jumat (7/11/2025) pukul 23.00 WIT.
Dikatakannya, pulau-pulau seperti Wawonii dan Raja Ampat memiliki daya dukung lingkungan terbatas dan fungsi ekologis yang vital serta merupakan aset nasional bahkan dunia.
“Melindunginya bukanlah halangan bagi pembangunan, justru merupakan investasi untuk masa depan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan khususnya melalui sektor pariwisata bahari, perikanan berkelanjutan dan ekonomi biru,” tuturnya.
Dalam semangat putusan MA tersebut, Institut USBA mendorong pemerintah untuk konsisten dalam menerapkan hukum.
“Kami mencatat pernyataan pemerintah mengenai pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat. Ketidakjelasan status kebijakan ini, seiring dengan pernyataan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap bahwa Surat Keputusan (SK) pencabutan izin tersebut belum pernah ditunjukkan secara resmi kepada publik,” ujar Charles mengutip pemberitaan detikFinance, 5 November 2025.
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan kaburnya kepastian hukum dan mengundang pertanyaan publik.
“Di tengah ketidakjelasan ini, kami justru menyayangkan pemberian izin operasi kembali kepada PT Gag Nikel di kawasan jantung segitiga karang dunia (Coral Triangle),” tuturnya.
Charles mengatakan, keputusan ini meskipun diklaim telah memenuhi standar PROPER, menimbulkan kekhawatiran besar mengingat skala operasi yang masif dan lokasinya yang sangat kritis.
“Kami percaya, terdapat pilihan pembangunan lain yang risikonya lebih rendah dan nilai jangka panjangnya lebih tinggi bagi Indonesia, khususnya bagi masyarakat Raja Ampat,” ucapnya.
Olehnya itu lanjut Charles Imbir, pihaknya mengeluarkan tujuh seruan yang bisa dilakukan pemerintah:
1. Klarifikasi dan transparansi segera
Pemerintah harus segera mempublikasikan secara resmi SK pencabutan empat IUP di Raja Ampat seperti yang telah diumumkan, guna menghilangkan ambiguitas dan memulihkan kepercayaan publik.
2. Moratorium Nasional yang Terukur
Pemerintah pusat (BKPM, ESDM, KLHK) hendaknya menerbitkan moratorium nasional terhadap pemberian izin pertambangan baru di pulau-pulau kecil di bawah 2.000 km², sambil melakukan kajian ulang terhadap izin-izin yang telah beroperasi, dengan prioritas tinggi pada kawasan biodiversitas unik seperti Raja Ampat.
3. Pemulihan Total dan Pertanggungjawaban:
Pemerintah harus memastikan perusahaan yang izinnya dicabut bertanggung jawab penuh atas pemulihan lingkungan (reklamasi) lahan bekas tambang.
4. Transisi Ekonomi Biru
Pemerintah dan DPRD perlu membentuk Tim Transisi Ekonomi Biru Raja Ampat yang melibatkan masyarakat adat serta akademisi, untuk merancang investasi hijau di sektor pariwisata berkelanjutan, perikanan ramah lingkungan, energi terbarukan dan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
Hal itu guna mengarahkan pembangunan daerah dari ketergantungan pada sumber daya ekstraktif menuju ekonomi berkelanjutan, serta menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan dan bermartabat.
5. Penguatan kelembagaan adat
Mendorong pengakuan dan pengintegrasian pengetahuan lokal dan kelembagaan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir, sebagai mitra setara pemerintah.
“Pilihan kita hari ini akan menentukan warisan untuk generasi mendatang. Wawonii telah menunjukkan jalannya. Kini, Raja Ampat adalah ujian nyata komitmen Indonesia untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan ekologis, serta ujian bagi transparansi dan konsistensi kebijakan pemerintah,” katanya.
Charles menambahkan, di Raja Ampat dihadapkan pada pilihan akhir yakni menjadi penjaga terakhir surga yang dianugerahkan Tuhan, atau menjadi generasi yang menghancurkannya.
“Pilihan itu harus jelas, hentikan tambang, selamatkan masa depan. Raja Ampat harus dipulihkan, bukan ditambang,” tegasnya.
(RED//ALL)
